Saturday, August 15, 2009
Spanyol, Mutiara Islam yang Hilang
Ramadhan 92 H, atau bertepatan dengan tahun 711 M, Thariq bin Ziyad dan pasukannya merapat di pantai Spanyol, dengan membawa misi untuk menyebarkan dakwah Islam. Sayang, Raja Roderick dan pasukannya menolak, dan bahkan mengobarkan peperangan. Peperangan itu sebenarnya bermula dari pertikaian antara sesama Kristen Spanyol. Raja Roderick yang berkuasa saat itu, memaksakan keyakinan Trinitas Kristen yang dianutnya kepada umat Nasrani Aria.
Berbeda dengan para pendukung Roderick yang meyakini Nabi Isa sebagai Yesus, yaitu Allah Bapak, Anak Tuhan, dan Ruh Kudus, kaum Nasrani Aria meyakini Nabi Isa semata sebagai utusan Allah. Pemaksaan keyakinan Trinitas oleh Raja Roderick ini menimbulkan penindasan di kalangan Nasrani Aria. Lantas, pimpinan mereka meminta bantuan kepada Pasukan Thariq bin Ziyad yang memang sudah merapat di Spanyol dalam misi dakwah dari khalifah.
Panglima Thariq menerima permintaan pemimpin Nasrani Aria. Itu sebabnya, dalam sebuah pidatonya sesaat sebelum melakukan pertempuran dengan pasukan Raja Roderick, Thariq bin Ziyad memerintahkan pembakaran kapal-kapal yang telah membawa seluruh awak pasukannya dari Afrika, kecuali beberapa pasukan kecil yang diminta pulang untuk meminta bantuan kepada khalifah.
Pidato `kontroversial' itu karuan aja membuat pasukannya keheranan. Namun beliau mengatakan, "Di belakang kita ada lautan luas, di hadapan kita pasukan musuh. Jadi, kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya dua pilihan; menaklukkan negeri ini dan menetap di sini serta mengembangkan Islam, atau kita semua binasa (syahid)".
Peristiwa di tahun 711 M itu mengawali masa-masa Islam di Spanyol. Pasukan
Thariq sebenarnya bukan misi pertama dari kalangan Islam yang menginjakkan kaki di Spanyol. Sebelumnya, Gubernur Musa Ibnu Nushair telah mengirimkan pasukan yang dikomandani Tharif bin Malik. Tharif sukses. Kesuksesan itu mendorong Musa mengirim Thariq. Saat itu, seluruh wilayah Islam masih menyatu di bawah kepemimpinan Khalifah al-Walid dari Bani Umayah.
Thariq mencatat sukses. Ia mengalahkan pasukan Raja Roderick di Bakkah. Setelah itu ia maju untuk merebut kota-kota seperti Cordova, Granada dan Toledo yang saat itu menjadi ibukota kerajaan Gothik. Ketika merebut Toledo, Thariq diperkuat dengan 5.000 orang tentara tambahan yang dikirim Musa Ibnu Nushair.
Thariq kembali sukses. Bukit-bukit di pantai tempat pendaratannya lalu dinamai Jabal Thariq, yang kemudian dikenal dengan sebutan Gibraltar. Musa bahkan ikut menyeberang untuk memimpin sendiri pasukannya. Ia merebut wilayah Seville dan mengalahkan Penguasa Gothic, Theodomir. Musa dan Thariq lalu bahu-membahu menguasai seluruh wilayah Spanyol selatan itu.
Pada 755 Masehi, Abdurrahman tiba di Spanyol. Abdurrahman ad-Dakhil, demikian orang-orang menjulukinya. Ia membangun Masjid Cordova, dan menjadi penguasa di Andalusia dengan gelar Amir. Keturunannya melanjutkan kekuasaan itu sampai 912 Masehi. Kalangan Kristen sempat mengobarkan perlawanan "untuk mencari kematian" (martyrdom). Namun penguasa Bani Umayah di Andalusia ini mampu mengatasi tantangan tersebut.
Sekadar kamu tahu, bahwa peperangan dalam Islam adalah untuk menghidupkan manusia bukan untuk memusnahkan. Itu sebabnya, ketika kaum muslimin menang perang dan menguasai wilayah tidak bertujuan menjajahnya. Berbeda dengan ideologi Kapitalisme yang memang tujuan mereka berperang adalah untuk menguasai wilayah dan menjajahnya (baca: menguras seluruh potensi wilayah itu untuk kepentingan bangsanya).
Sejarawan Barat beraliran konservatif, W. Montgomery Watt dalam bukunya Sejarah Islam di Spanyol, mencoba meluruskan persepsi keliru para orientalis Barat yang menilai umat Islam sebagai yang suka berperang. Menurutnya, "Mereka (para orientalis) umumnya mengalami mispersepsi dalam memahami jihad umat Islam. Seolah-olah seorang muslim hanya memberi dua tawaran bagi musuhnya, yaitu antara Islam dan pedang. Padahal, bagi pemeluk agama lain, termasuk ahli kitab, mereka bisa saja tidak masuk Islam meski tetap dilindungi oleh suatu pemerintahan Islam." Hmm.. perlu dicatet tuh.
Itulah yang terjadi sepanjang perjalanan sejarah masuknya Islam ke Spanyol. Islam, tak hanya masuk dengan damai, namun dengan cepat menyebar dan membangun peradaban tinggi hingga Spanyol mencapai puncak kejayaannya. Kota-kota terkemuka Spanyol seperti Andalusia dan Cordova, menjadi center of excellent peradaban dunia. Keren nggak?
Berkembangnya iptek Montgomery menganalisa tentang rahasia kemajuan peradaban Islam, ia mengatakan bahwa Islam nggak mengenal pemisahan yang kaku antara ilmu pengetahuan, etika, dan ajaran agama. Satu dengan yang lain, dijalankan dalam satu tarikan nafas. Pengamalan syariat Islam, sama pentingnya dan memiliki prioritas yang sama dengan riset-riset ilmiah.
Nggak mengherankan tentunya jika para ulama terkemuka seperti Ibnu Rusyd (1126-1198) misalnya, yang terkenal di Barat dengan nama Averous, diakui pula sebagai ilmuwan yang handal di bidangnya. Ibnu Rusyd adalah filosof, dokter, dan ahli fikih Andalusia. Bukunya yang terpenting dalam bidang kedokteran ialah al-Kulliyat yang berisi kajian ilmiah pertama kali mengenai tugas jaringan-jaringan dalam kelopak mata. Bukunya dalam bidang fikih adalah Bidayatul Mujtahid.
Spanyol juga punya az-Zahrawi yang dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan teknik pembedahan manusia. Az-Zahrawi yang lahir dekat Cordova pada 936 Masehi, dikenal pula sebagai penyusun ensiklopedi pembedahan yang karya ilmiahnya itu dijadikan referensi dasar bedah kedokteran selama ratusan tahun. Sejumlah universitas, termasuk di Barat, menjadikannya acuan.
Kontribusi ilmuwan Islam di bidang astronomi nggak kalah seru. Adalah az-Zarkalli, astronom muslim kelahiran Cordova yang pertama kali memperkenalkan astrolobe. Yaitu suatu instrumen yang digunakan untuk mengukur jarak sebuah bintang dari horison bumi. Penemuan ini menjadi revolusioner karena sangat membantu navigasi laut. Dengan begitu, transportasi pelayaran berkembang pesatselepas penemuan astrolobe.
Jadi jelas, ilmu pengetahuan, bukanlah bagian yang terpisahkan dari syariat Islam dan etika moral. Menurut Montgomery, nggak ada yang dapat melukiskan relasi antara ilmu pengetahuan, etika, dan agama daripada kata-kata filosofis Ibnu Rusyd: "Filsafat, tak berarti apa-apa jika tak bisa menghubungkan ilmu pengetahuan, agama dan etika dalam suatu relasi harmonis." Ibnu Rusyd pernah mengatakan, bahwa ilmu pengetahuan dibangun di atas fakta-fakta dan logika hingga sampe kepada suatu penjelasan rasional. Etika, merefleksikan manfaat setiap riset ilmiah, sehingga harus bisa memberi nilai tambah bagi kehidupan. Sedangkan firman Allah, yakni al-Quran, menjadi satu-satunya pembimbing kita untuk sampai pada tujuan hakiki dari hidup ini.
Itu sebabnya barangkali, W.E. Hocking berkomentar, "Oleh karena itu, saya merasa benar dalam penegasan saya, bahwa al-Quran mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya sendiri. Sesunguhnya dapat dikatakan, bahwa hingga pertengahan abad ke tigabelas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat." (The Spirit of World Politics, 1932,hlm. 461)
Menurut Montgomery, cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi `dinamo'nya, Barat bukanlah apa-apa. Wajar jika Barat berhutang budi pada Islam.
STUDIA Edisi 284/Tahun ke-7 (13 Maret 2006)
(Bersambung...)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment